Jumat, 13 Mei 2011

Siapakah Jujuk Tampo??

Di tengah – tengah laut Jawa terdapatlah sebuah pulau yang kecil nan menawan yaitu Pulau Bawaen. Bawean adalah satu-satunya pulau yang semuanya penghuninya beragama Islam. Bila dicari dalam peta Indonesia yang ukurannya kecil maka Pulau Bawean tidak tampak, tapi jika dalam ukuran yang besar maka Pulau Bawean hanya tampak senoktah. Pulau Majeti ini terdiri dua kecamatan, Sangkapura dan Tambak. Meskipun kecil, Pulau Bawean memiliki banyak lagenda, konon peradaban Jawa dimulai dari Bawean. Aksara Jawa yang diciptakan oleh Ajisaka adalah awal peradaban Jawa. Sebelum ke Jawa Ajisaka dan kedua muridnya yaitu Dora dan Sembada, singgah di pulau ini. Kemudian Dora mengiringi sang guru ke Jawa Dwipa sedangkan Sembada ditugasi menjaga pusaka Ajisaka yang sengaja ditinggal di Bawean. Kini makam Dora dan Sembada berada di Jherat Lanjheng desa Lebak Sangkapura. Keduanya terbunuh karena sama-sama setia dengan titah Ajisaka. Seperti yang telah dipaparkan oleh Zulfa Usman (Buku Pulau Putri), diantara legenda Bawean adalah terjadinya kesalahfahaman antara orang Patar Selamat dengan Jujuk Tampo yang mengakibatkan terbunuhnya Jujuk Tampo.
Di Tampo, tepatnya di desa Pudakit Barat, terdapat kuburan tua yang Dikeramatkan oleh masyarakat setempat, mereka menyebutnya kuburan “Jujuk Tampo”, yang diyakini seorang wali. Jika bicara tentang validitas datanya, sepertinya tidak ada bukti tertulis yang menguatkan baik dari data sejarah maupun silsilah keluarganya. Cerita ini hanya diwariskan dari mulut kemulut. Jujuk Tampo adalah seorang muballigh Islam. Menurut juru kunci makam Jujuk Tampo yakni bapak Mustakim, jika dilihat dari batu nisannya, kemungkinan besar, usia jujuk tampo ini lebih tua dibandingkan Maulana Umar Mas'ud yang makamnya ada di Sangkapura. Makam Jujuk tampo dan istrinya, letaknya lebih tinggi sekitar 2 meter dari tanah, luas halamannya kurang lebih 30M persegi. Para peziarah tidak boleh naik dan berjalan sembarangan, terutama bagi peziarah yang mempunyai nadzar. Berikut adalah kisah Jujuk Tampo versi Bapak Halimi (alm) seperti yang dituturkan oleh Bapak Mustakim.

Nama lain dari "Jujuk Tampo" adalah "Syekh Maulana Makdum Ibrahim", nama ini adalah nama kecil Sunan Bonang. Beliau dikenal baik dan berkepribadian shaleh serta mempunyai banyak keistimewaan. Beliau memiliki perilaku aneh menurut orang kebanyakan , yaitu sering kali memungut rezeki dari orang-orang kaya untuk diberikan kepada orang-orang miskin. Ia biasa mendatangi orang-orang kaya di desanya ataupun di tempat lain. Kecintaanya kepada orang miskin sungguh luar biasa. Kebiasaan memungut zakat dan sedekah dari orang kaya ini beliau jalani sepanjang hidupnya. beliau tidak memperdulikan cemoohan, cibiran dan gunjingan orang-orang yang enggan berzakat. Demi membela orang-orang fakir dan miskin beliau rela mempertaruhkan harga dirinya dimata manusia. Suatu hari Jujuk Tampo bertemu dengan seorang pemuda yang datang dari desa Patar Selamat yang sedang kelelahan dan kebingungan karena kehilangan seekor sapi. Beliau menyarankan agar si pemuda tadi pulang saja karena sapinya tidak bisa ditemukan. Segera si pemuda mengikuti apa saran Jujuk Tampo. Ia pulang dengan tangan hampa. Setiba dirumah, si pemuda tadi menceritakan tentang pengalamannya yakni bertemu dengan Jujuk Tampo yang menganjurkan untuk pulang saja. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba si pemuda meninggal dunia. Sang ayah yang shok menyangka bahwa anaknya telah di sihir oleh Jujuk Tampo. Keesokan harinya dia pergi menemui Jujuk Tampo untuk menuntut balas kematian anaknya. Setelah bertemu segera sang ayah tadi menghardik Jujuk Tampo dengan menuduhnya sebagai tukang sihir. Jujuk Tampo menjelaskan bahwa ia tidak menyihir si pemuda. Perdebatan tak terelakkan. Untuk mengakhiri kesalahpahaman ini Jujuk Tampo menawarkan solusi yakni ia bersedia dibunuh. Jika nanti darah yang keluar berwarna merah maka berarti Jujuk Tampo memang bersalah. Tapi sebaliknya, jika darah yang keluar nanti berwarna putih maka berarti Jujuk Tampo tidak bersalah dan orang Patar Selamat tidak boleh menginjakkan kakinya di Tampo untuk selamanya. Segera sang ayah tadi menusuk perut Jujuk Tampo. Ajaib, darah yang semburat keluar berwarna putih. Dengan demikian maka teranglah bahwa Jujuk Tampo tidak bersalah. Ayah tadipun menyesali dirinya yang telah gegabah menuduh Jujuk Tampo yang shaleh sebagai seorang penyihir. Kutukan Jujuk Tampo masih
berlaku hingga sekarang. Itulah alasan utamanya kenapa Orang patar selamat tak pernah menginjakkan kakinya di desa tampo, Pudakit Barat.
Akhirnya oleh masyarakat mayat jujuk tampo dimakamkan di desa tampo.



☻ (Doc. Of Nur Diana-MediaBawean.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar