Dahulu kala Pulau Majeti merupakan tempat
berlabuh pertama kali tokoh kebudayaan (culture hero) Ajisaka, sebelum tokoh budaya itu
melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Jawa. Itulah sebabnya, Pulau Bawean berdasarkan legenda memiliki hubungan sejarah pembudayaan dengan Pulau Jawa. Pulau Bawean juga dikenal sebagai pulau sakti. Dalam legenda, di sana pernah hidup tokoh sakti, binatang sakti, pohon sakti, bahkan diyakini masih tersimpan pusaka sakti (keris Nogososro dan Sabuk Inten milik tokoh Jaka Tingkir), serta benda-benda bertuah peninggalan para tokoh historis yang datang ke pulau itu. Seorang jenderal
TNI-AD, pada tanggal 30 April 1981, pernah datang dan bersemedi di Gunung Pataonan (Bawean) dalam upaya hendak mengambil pusaka sakti yang diyakini peninggalan Jaka Tingkir. Upaya jenderal tersebut kabarnya sia-sia.
Legenda dari Pulau Bawean menarik diteliti untuk mengenal, memahami, dan mengapresiasi hasil perenungan, pemikiran filosofis, latar belakang historis dan sosial-budaya, psikologi masyarakat, harapan, citacita, serta nilai-nilai yang didambakan dan dibanggakan masyarakatnya.
Untuk itu, pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan arketipal (archetypal approach). Dalam kajian sastra lisan, pendekatan ini
(di Indonesia) masih jarang digunakan. Hal tsb misalnya, tampak dalam hasil-hasil skripsi, disertasi, atau publikasi hasil penelitian yang pernah ada. Padahal, pendekatan ini memiliki kelebihan di antaranya, mampu menjelaskan segi menarik objek kajian, karya seni, termasuk prosa naratif/sastra lisan, yang kualitas estetiknya tidak terlalu tinggi, namun karya tersebut sangat populer di kalangan masyarakat pemiliknya (Griffith, 1982:78). Kepopuleran tersebut pantas dan patut dipertanyakan, dipahami, dan diungkapkan alasan dan sebab- musababnya dalam suatu
kegiatan penelitian. Kajian dengan pendekatan arketipal juga dapat digunakan untuk menggali warisan klasik, nilai-nilai primordial yang khas, yang dijadikan rujukan dalam aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri. dari masa ke masa. Pemahaman dan apresiasi nilai- nilai kenusantaraan ini menjadi signifikan, terutama dalam menghadapi proses globalisasi wujud dan nilai kebudayaan bangsa adikuasa akhir-akhir ini.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat bawean, gunung menangis ini merupakan tempat berdiamnya waliyah siti zainab ketika pertama kali tiba di pulau bawean. cerita detilnya waliyah siti zainab ini sebelumnya tiba di desa kumalasa, yang sedang terjangkit penyakit sampar, karena kedatangan siti zainab berbarengan dengan kondisi desa kumalasa, maka rakyat desa menyangka bahwa penyakit itu telah di bawa dan di tularkan oleh waliyah zainab dan rombongannya. karena terprovokasi dengan berita itu maka rakyat desa kumalasa berbondong-bondong mengusir waliyah zainab dan rombongannya. karena pengusiran tersebut, akhirnya waliyah zainab beserta rombonganya menyusuri tempat demi tempat yang kondisinya masih berupa hutan rimba. hingga malam tiba mereka belum menemukan tempat berdiam yang aman. dengan terpaksa mereka harus bermalam di tengah hutan rimba, karena kondisi tersebut waliyah siti zainab beserta rombongannya memohon dan bermunajat kepada Allah, hingga menangis. karena kuasa Allah seluruh masyarakat bawean mendengar tangisan tersebut. kemudian masyarakat sekitar mencari asal tangisan tersebut. singkat cerita, masyarakat menemukan sumber tangisan di atas gunung tersebut. dan di namailah gunung itu dengan gunung menangis. di duga makam yang ada di puncak gunung menangis tersebut adalah salah satu rombongan waliyah siti zainab, yang meninggal ketika tersesat di gunung tersebut.
☻ (Doc. Of Zhiy-sayyidatulfauziah.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar