Seorang warga Cile telah menemukan makhluk kecil
berbentuk manusia dengan panjang sekitar 8 cm.
Penemuan ini semakin memperkuat keberadaan
"manusia kecil" di masa silam.
Pada awal bulan Oktober tahun lalu, telah ditemukan makhluk bernyawa yang berbentuk
aneh di sebuah tempat yang tiada jejak manusia di
Cile, ketika itu ia masih hidup, namun setelah
beberapa hari kemudian ia mati, bahkan berubah
menjadi seperti mumi. Menurut laporan AFP di Santiago, Cile, di selatan Cile ditemukan sebuah makhluk hidup kurus kering bahkan hampir mati dengan tinggi badan kurang dari 8 cm, mempunyai kepala, 4 anggota badan, dan batang tubuh yang baik pertumbuhannya, tidak mirip janin manusia, juga bukan makhluk apa pun yang sudah diketahui. Makhluk kecil ini setelah dipungut oleh seorang lelaki di lembah 500 km dari Santiago hanya bertahan hidup selama 8 hari lalu mati, selama 8 hari itu, ia tidak makan dan minum. Sebelum mati, ia terus memutar-mutar salah satu matanya tiada henti. Berdasarkan laporan itu, setelah mati, dengan cepat
dan juga tidak dikompresi, tubuhnya lalu berubah
menjadi mumi. Otaknya jauh melampaui dengan
perbandingan normal tubuhnya, mata menatap
bagian rusuk, leher kasar, mempunyai 4 kaki. Dokter
hewan Pieter Carlton telah melakukan pemeriksaan terhadapnya, dia mengatakan, ia bukan tergolong
dari jenis spesies mana pun. Dokter Mario Duciel
memegang makhluk itu dan berkata kepada
wartawan: "Ia adalah janin mati manusia". Setelah
psikolog Duciel berbincang-bincang dengan setiap
anggota keluarga lelaki itu, menganggap bahwa semua ini bukan sebuah penipuan, "ada tanda-tanda
pembentukan sebuah tubuh makhluk hidup yang
demikian!" Namun sebagian besar orang menganggap bahwa terlalu dini untuk menarik
kesimpulan: "Bukannya tidak pernah melihat janin
mati, namun tidak ada hal demikian." Kemudian penemuan ini dikirim ke ibukota Cile untuk menerima pembuktian dari para ahli. Namun, berdasarkan pengalaman masa lalu, bila ditemukan terdapat kepalsuan masih mudah penyelesainnya, dibongkar supaya menjadi jernih selesai, jika melalui serangkaian pembuktian dan yang ditemukan adalah makhluk hidup serba baru, maka hal ini harus melihat apakah kalangan ilmuwan memiliki keberanian untuk menghadapi kenyataan tersebut. Meskipun pembuktian tentang makhluk kecil yang
ditemukan di Cile di atas masih belum begitu terang,
boleh jadi dia memang "manusia kecil". Sebab dalam
sejarah umat manusia yang sudah berusia ratusan
juta tahun, makhluk ini dipercaya pernah hidup dan
berkembang biak. Dalam catatan sejarah, keberadaan makhluk sejenis manusia yang
bertubuh kecil adalah nyata. Sebagai contoh, pada bab 480 dan 482 dalam "Catatan Taipingguang (sekitar 960-1279 SM) disebutkan, pada wilayah barat laut lautan Xiuhai ada sebuah negara bernama Heming. Orang-orang di sana tingginya 3 inci, namun dapat berjalan seribu mil sehari. Langkah mereka seperti terbang, namun mereka sering ditelan oleh burung camar. Cerita lain. Li Zhangwu memiliki sebuah manusia kering yang kecil, yang sudah diawetkan dengan lilin. Tingginya hanya tiga inci. Kepala, paha dan dadanya utuh tak cacat sedikit pun. Alis dan matanya terlihat jelas. Dikatakan "jenglot" itu adalah seorang warga negara Jiaojiao, "negara orang kerdil" yang disebutkan dalam legenda China kuno. Pada Dinasti Wei (386-534 SM), di Heijan juga ditemukan 8-9 manusia kecil dengan tinggi 6 inci. Dengan penemuan di Cile dan bukti "Catatan Taipingguang", mungkinkah manusia kecil benar-benar pernah hidup di muka bumi ini? Jenglot (lihat halaman berikutnya), kalau benar merupakan makhluk sebangsa manusia dengan tubuh kecil,
barangkali semakin memperkuat keberadaan makhluk itu. Memang, masih banyak misteri kehidupan di alam ini yang belum diketahui oleh
manusia biasa. Jejak Manusia Kerdil di Meru Betiri Kalau di Cile ditemukan manusia kecil dengan ukuran sekitar 10 cm, belum lama ini ditemukan jejak manusia kerdil di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB),Jember, Jawa Timur. Manusia kerdil ini ukurannya jauh lebih besar dibandingkan manusia kecil di Cile, dan kelihatannya lebih tepat disebut manusia cebol.
Anang Ritarno, aktivis Kelompok Indonesia Hijau
Jawa Timur, mengaku telah menemukan jejak
manusia kerdil itu. "Saya menemukan jejak manusia kerdil itu secara tidak sengaja," katanya beberapa
bulan lalu. Jejak manusia liliput yang ditemukan di
sekitar muara sungai Nanggelan, Desa Wonoasri,
Kecamatan Tempurejo, Jember, seukuran korek gas.
Setelah diukur, panjang telapak kaki itu dari ujung
jempol hingga tumitnya hanya 9,2 cm, lebarnya 2 cm,dan panjang jempolnya 1 cm. Penemu jejak kaki manusia cebol ini mengaku sebelumnya pernah dua kali menyaksikan manusia seperti itu, yaitu pada 1984 dan 1999. "Saat itu saya sedang mengikuti acara training mahasiswa pencinta alam di muara sungai sekitar pantai Sukamade dan pantai Nanggelan," ujar pemandu mahasisiwa pecinta alam itu. Tanpa sengaja, dirinya melihat 8 orang kerdil tengah bercengkerama di tepian sungai sambil menikmati udang hasil tangkapan mereka. Dalam jarak sekitar 15 meter, Anang melihat manusia mini itu berambut gimbal sebahu, kulit hitam, tinggi badan sekitar 60-70 cm, tanpa busana, dan berjalan tegak layaknya manusia.
"Begitu melihat kehadiran saya, mereka langsung
melarikan diri masuk hutan," ungkapnya.
Bahlan baru-baru ini menurut laporan National Geographic, Para ilmuwan telah menemukan fosil-fosil tengkorak dari suatu spesies manusia yang tumbuh tidak lebih besar dari kanak-kanak berusia lima tahun. Manusia kerdil yang memiliki tengkorak
seukuran buah jeruk ini diduga hidup 13.000 tahun lalu, bersama gajah-gajah pigmi dan kadal-kadal
raksasa seperti Komodo. Yang unik dari temuan ini adalah bahwa sisa-sisa manusia kerdil seukuran bangsa Hobbit seperti dalam film "Lord of the Rings" itu dijumpai di sebuah goa di Flores, Indonesia. Penemunya adalah ilmuwan-ilmuwan Indonesia dan Australia. Tahukah anda bahwa penemuan ini sebenarnya sudah sejak tahun 1974 hanya saja waktu itu peneliti Indonesia tidak mempunyai dana yang cukup untuk mempublikasikannya dan melanjutkan penelitiannya.
Sementara itu, Di Liang Bua temuan Homo floresiensi menunjukkan peradaban Pulau Flores sudah sanga tua. Fosil itu diperkirakan setara dengan
Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Bengawan Solo. Kedua fosil termasuk manusi purba yang memiliki ciri-ciri berbeda dengan manusia mode (Homo sapiens). Fosil Homo floresiensis yang dijuluki hobbit (manusia kerdil) telah mengguncang dunia arkeologi dan menjadi perdebatan sampai kini. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) meneliti sejak tahun 1970-an. Sempat terhenti karena kesulitan dana, penelitian dimulai lagi tahun 2001 bekerja sama dengan peneliti dari Australia. Tahun 2003, mereka menemukan kerangka manusia kerdil yang menghebohkan itu, yaitu kerangka perempuan setinggi 100 sentimeter (cm) yang diperkirakan terpendam lebih dari 10.000 tahun lalu. Hingga kini tim masih menggali Liang Bua. Lubang
menganga dengan mudah ditemui di lantai gua.
Hujan mengguyur deras ketika Tim Ekspedisi Jejak
Peradaban NTT tiba di Liang Bua pada pertengahan
Oktober lalu. Liang Bua (gua dingin) menjadi hunian
ideal untuk berteduh dari derasnya hujan maupun teriknya matahari. Penjaga Liang Bua, Cornelis,
menghampiri kami dan menawarkan jasa bertemu
manusia kerdil dari Dusun Rampasasa, Kelurahan
Waemulu, Kecamatan Waeriri. Kehadiran lelaki
kerdil Victor Dau (80) di Liang Bua
menghidupkan gambaran tentang manusia kerdil Homo floresiensis.
Dengan tinggi 135 cm, Victor yang tidak bisa
berbahasa Indonesia ini mengaku sebagai
keturunan dari manusia kerdil yang fosilnya
ditemukan terkubur di Liang Bua. Keberadaan
manusia kerdil berukuran kurang dari 150 cm di Dusun Rampasasa memperuncing perdebatan di kalangan ilmuwan. Peneliti Puslit Arkenas meyakini
Homo floresiensis adalah spesies purba yang telah
punah dan tidak memiliki kaitan dengan manusia kerdil dari dusun itu.
Sebaliknya, tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dipimpin almarhum Prof Dr Teuku Jacob dan Kepala Laboratorium Bioantropologi dan
Paleoantropologi UGM Etty Indriati yang meneliti
warga Rampasasa berpendapat, ada hubungan erat
antara Homo floresiensis dan manusia kerdil
Rampasasa. Menurut mereka, temuan kerangka di Liang Bua adalah manusia modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya kerdil. Mereka menduga,
manusia Flores itu adalah salah satu subspesies
Homo sapiens ras Austrolomelanesid. Saat ini,
menurut Etty, tim UGM belum melanjutkan penelitian karena kekurangan ahli antropologi forensik. Sebelum tim Puslit Arkenas, seorang pastor yang mendirikan sekolah di Liang Bua, Pastor Verhoeven, menggali dan menemukan beragam bekal kubur serta kerangka manusia modern pada tahun 1965. Meski Kendati Liang Bua telah tersohor ke seluruh
dunia, warga masih dibekap kemiskinan.
Namun, warga Rampasasa sangat ramah. Tamu akan
disambut dengan tetabuhan gendang, secangkir
kopi, dan sebotol bir. Anak-anak dengan pandangan
ingin tahu segera mengerumuni tamu yang berkunjung ke dusun yang belum tersentuh jaringan
listrik maupun air bersih itu. Empat orang kepala suku Darius Skak, Petrus Ontas, Rovinus Dangkut, dan Victor Jurubu menyambut kedatangan kami di rumah adat. umumnya terdapat Jagung kering tergantung di atap rumah berlantai tanah dengan kalender bergambar artis Ibu Kota menempel di dinding bambunya. Mayoritas warga Rampasasa bekerja sebagai petani atau buruh proyek dengan upah Rp 30.000 per hari. Anak-anak harus berjalan kaki 3 kilometer (km) ke sekolah dasar dan 15 km ke sekolah menengah pertama terdekat. Sumber air mereka berasal dari sungai. Ada 70 dari 250 warga dusun itu yang memiliki tinggi kurang dari 150 cm. Menurut Victor, warga mendengar kisah nenek moyang manusia kerdil yang tinggal di gua secara turun-temurun. Karena desakan kebutuhan ekonomi, warga Rampasasa mulai meninggalkan kepercayaan lama. Warga bersedia diambil darah untuk uji DNA dengan imbalan Rp 150.000 per orang. Ketua Tim Penelitian Liang Bua dari Puslit Arkenas, Wahyu Saptomo, tetap yakin bahwa Homo floresiensis adalah spesies berbeda dalam garis evolusi manusia. Manusia kerdil ini memiliki pergelangan kaki dan tangan dengan ciri di antara manusia kera dan manusia modern.
Ciri-ciri lain, tulang kening sangat menonjol, tidak
memiliki dagu, dan volume otak hanya 430 cc. Ini
berbeda dengan manusia modern yang volume
otaknya 1.400 cc. (beda banget ya) Homo floresiensis
diperkirakan hidup di zaman pleistosen (2
juta-12.000 SM).
Menurut ahli alat batu dari Arkenas, Jatmiko, Liang Bua memiliki empat lapisan kebudayaan prasejarah dari masa paleolitik (batu tua), mesolitik, neolitik, dan paleometalik (logam awal), berupa alat batu seperti kapak perimbas mulai dari yang buatannya masih kasar sampai halus, serta mata anak panah dari logam. Saat ini, tim Arkenas meneliti temuan lain berupa peninggalan artefak batu berusia sekitar 1 juta tahun di Cekungan Sowa, Flores tengah. Seluruh temuan arkeologi di Pulau Flores menunjukkan hadirnya peradaban yang sangat tua. Peradaban tua itu setara dengan dunia lama di Pulau Jawa. Saat ini, pewaris peradaban itu harus dibangkitkan dari keterpurukan akibat kemiskinan Maka dari itu, pemerintah khususnya yang mewakili
daerah itu turut andil dalam mempertahankan dan
mengali potensi yang terdapat di daerahnya
tersebut.
☻ (Doc. Of Sampoernamild99-duff_vha-xREVOLUTIONx-kaskus.us)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar