Pada tahun 1720-1747 Pulau Bawean berada di bawah pemerintahan yang dipimpin oleh pangeran Purbonegoro, yaitu keturunan
kelima dari Syeh Maulana Umar Mas'ud. Selain
terkenal karena sangat bijaksana dalam memerintah
rakyatnya, beliau juga terkenal akan kekhusukannya
dalam menjalankan ibadah yang wajib maupun yang
sunnah. Konon pada waktu malam, karena kesibukan-
kesibukan pekerjaannya pada siang hari, beliau baru
bangun setelah masuk waktu subuh, sehingga shalat
tahajjud yang selalu beliau kerjakan tidak
dilaksanakannya. Agar hal yang demikian tidak
terjadi lagi, maka beliau memerintahkan kepada penjaga masjid jami' Sangkapura supaya setiap pukul
12.00 malam atau tengah malam, bedug masjid
dibunyikan. Bunyi bedug yang dipukul pada pukul
12.00 tengah malam itu disebut "Gendeng Debe".
Namun, sejak masa penjajahan Jepang sampai
sekarang "Gendeng Debe" itu sudah tidak terdengar lagi di kota Sangkapura. Pada masa pemerintahan Purbonegoro, yang makamnya terletak di punggung Gunung Malokok,
Pulau Bawean masih merupakan pemerintahan yang
berdiri sendiri dan belum masuk di bawah
pemerintahan penjajah. Beliaulah yang langsung
berhubungan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa dan
Madura, termasuk dengan raja Surakarta. Menurut cerita yang berkembang di Bawean dan
menurut orang Surakarta, pada suatu waktu raja di
Surakarta akan mengawinkan puteranya. Kemudian
shahibul bait telah menyebarkan undangan di sekitar
istana, juga mengundang beberapa pembesar di Jawa
dan Madura termasuk pula Pangeran Purbonegoro dari Bawean. Bila berangkat dari Bawean ke Solo atau Surakarta,
Pangeran Purbonegoro menaiki sebuah "jukong"
khusus. "Jhukong" tersebut buatan tukang yang
khusus pula diminta oleh Pangeran Purbonegoro
menyiapkannya. Tukang tersebut kemudian dikenal
dengan nama "Jujuk Tukang" yang makamnya terdapat di Pulau Gili, sebuah pulau di sebelah timur
Pulau Bawean. (Kini jhukong itu tinggal tengkoraknya
yang disebut PACALANG). Singkat cerita, ketika Pangeran Purbonegoro tiba di
Surakarta, semua tamu undangan juga sudah sampai
disana. Mereka kemudian ramai berbincang perihal
hadiah masing-masing yang akan dipersembahkan
kepada Raja Surakarta yang punya hajat pernikahan
akbar itu. Berbagai macam hadiah telah dipertunjukkan. Yang dari Madura tidak kalah
menariknya. Beliau membawa sebatang pohon
pisang yang berbuah. Buahnya satu tandan dan
masak semua. Ternyata buahnya dapat mencukupi
untuk dimakan para undangan yang hadir. Akan halnya Pangeran Purbonegoro, lain lagi
ceritanya. Beliau kesana tidak membawa sesuatu pun
untuk dipersembahkan kepada raja sebagai hadiah.
Setelah undangan yang hadir bertanya kepada beliau
tentang hadiah yang akan dipersembahkannya,
beliau menjawab bahwa beliau tidak menyiapkan apa-apa. Atas jawaban itu, di kejauhan tampak
sebagian undangan yang mencemooh beliau. Namun
beliau dengan tenang menghadapi hal itu.
Komplek Makam Pangeran Purbonegoro berada di desa Sawah Mulya Sangkapura. Persisinya berada di sekitar lereng gunung Malokok di utara alun-alun kota kecamatan. Makam ini adalah salah satu makam yang dianggap bersejarah terkait dengan penyiar agama Islam di Pulau Bawean.
Pangeran Purbonegoro tercatat menjadi Penguasa keenam yang menjalankan pemerintahan di Pulau Bawean dalam kurun waktu 27 tahun yaitu dari tahun 1720 - 1747 Masehi dibawah pengawasan Kerajaan Islam Mataram.
Meskipun kemudian Makam yang berada di sekitar lereng gunung Malokok sebagai makam Pangeran Purbonegoro, diragukan. Namun, sebagian masyarakat meyakini jika kuburan tersebut adalah kuburan Pangeran Purbonegoro. Hal tersebut didasarkan pada beberapa peninggalan dan cerita turun temurun orang tua masa lampau
☻ (Doc. Of K.H.R. Abdurrachman/cerita-bawean.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar